Kulon Progo adalah sebuah kabupaten diProvinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta,Indonesia. Ibukotanya adalah Wates. Kabupaten ini berbatasan
denganKabupaten Sleman dan Kabupaten Bantuldi timur, Samudra Hindia di
selatan,Kabupaten Purworejo di barat, sertaKabupaten Magelang di utara.
Nama Kulon Progo berarti sebelah barat Sungai Progo (kata kulon dalam
Bahasa Jawa artinyabarat). Kali Progo membatasi kabupaten ini di sebelah
timur.
Kabupaten Kulon Progo terdiri atas 12kecamatan, yang dibagi lagi atas 88
desadan kelurahan, serta 930 Pedukuhan (sebelum otonomi daerah
dinamakan Dusun). Pusat pemerintahan di KecamatanWates, yang berada
sekitar 25 km sebelah barat daya dari pusat Ibukota Provinsi DIY, di
jalur utama lintas selatan Pulau Jawa (Surabaya - Yogyakarta - Bandung.
Wates juga dilintasi jalur kereta api lintas selatan Jawa. Kulon Progo
menggunakan kodepos 55611 (lama) dan 55600/55651 (baru).
Bagian barat laut wilayah kabupaten ini berupa pegunungan (Bukit
Menoreh), dengan puncaknya Gunung Gajah (828 m), di perbatasan dengan
Kabupaten Purworejo. Sedangkan di bagian selatan merupakan dataran
rendah yang landai hingga ke pantai. Pantai yang ada di Kabupaten
Kulonprogo adalah Pantai Congot, Pantai Glagah (10 km arah barat daya
kota Wates atau 35 km dari pusat Kota Yogyakarta) dan Pantai Trisik.
Sejarah Kulon Progo
Daerah yang termasuk wilayah Kabupaten Kulon Progo hingga berakhirnya
pemerintahan kolonial Hindia Belanda merupakan wilayah dua kabupaten,
yaitu Kabupaten Kulon Progo yang merupakan wilayah Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kabupaten Adikarto yang merupakan wilayah
Kadipaten Pakualaman. Kedua kabupaten ini digabung administrasinya
menjadi Kabupaten Kulon Progo pada tanggal 15 Oktober 1951. Nama Kulon
Progo asal usulnya adalah sesuai namanya, karena letak lokasi daerah ini
berada di barat Sungai Progo.
WILAYAH KASULTANAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT (KABUPATEN KULON PROGO)
Sebelum Perang Diponegoro di daerah Negaragung, termasuk di dalamnya
wilayah Kulon Progo, belum ada pejabat pemerintahan yang menjabat di
daerah sebagai penguasa. Pada waktu itu roda pemerintahan dijalankan
oleh pepatih dalem yang berkedudukan di Ngayogyakarta Hadiningrat.
Setelah Perang Diponegoro 1825-1830 di wilayah Kulon Progo sekarang yang
masuk wilayah Kasultanan terbentuk empat kabupaten yaitu:
Kabupaten Pengasih, tahun 1831
Kabupaten Sentolo, tahun 1831
Kabupaten Nanggulan, tahun 1851
Kabupaten Kalibawang, tahun 1855
Masing-masing kabupaten tersebut dipimpin oleh para Tumenggung. Menurut
buku 'Prodjo Kejawen' pada tahun 1912 Kabupaten Pengasih, Sentolo,
Nanggulan dan Kalibawang digabung menjadi satu dan diberi nama Kabupaten
Kulon Progo, dengan ibukota di Pengasih. Bupati pertama dijabat oleh
Raden Tumenggung Poerbowinoto.
Dalam perjalanannya, sejak 16 Februari 1927 Kabupaten Kulon Progo dibagi
atas dua Kawedanan dengan delapan Kapanewon, sedangkan ibukotanya
dipindahkan ke Sentolo. Dua Kawedanan tersebut adalah Kawedanan Pengasih
yang meliputi kepanewon Lendah, Sentolo, Pengasih dan Kokap/sermo.
Kawedanan Nanggulan meliputi kapanewon Watumurah/Girimulyo, Kalibawang
dan Samigaluh.
Yang menjabat bupati di Kabupaten Kulon Progo sampai dengan tahun 1951 adalah sebagai berikut:
RT. Poerbowinoto
KRT. Notoprajarto
KRT. Harjodiningrat
KRT. Djojodiningrat
KRT. Pringgodiningrat
KRT. Setjodiningrat
KRT. Poerwoningrat
WILAYAH KADIPATEN PAKUALAMAN ( KABUPATEN ADIKARTA)
Di daerah selatan Kulon Progo ada suatu wilayah yang masuk Keprajan
Kejawen yang bernama Karang Kemuning yang selanjutnya dikenal dengan
nama Kabupaten Adikarta. Menurut buku 'Vorstenlanden' disebutkan bahwa
pada tahun 1813 Pangeran Notokusumo diangkat menjadi KGPA Ario Paku Alam
I dan mendapat palungguh di sebelah barat Sungai Progo sepanjang pantai
selatan yang dikenal dengan nama Pasir Urut Sewu. Oleh karena tanah
pelungguh itu letaknya berpencaran, maka sentono ndalem Paku Alam yang
bernama Kyai Kawirejo I menasehatkan agar tanah pelungguh tersebut
disatukan letaknya. Dengan satukannya pelungguh tersebut, maka menjadi
satu daerah kesatuan yang setingkat kabupaten. Daerah ini kemudian
diberi nama Kabupaten Karang Kemuning dengan ibukota Brosot.
Sebagai Bupati yang pertama adalah Tumenggung Sosrodigdoyo. Bupati
kedua, R. Rio Wasadirdjo, mendapat perintah dari KGPAA Paku Alam V agar
mengusahakan pengeringan Rawa di Karang Kemuning. Rawa-rawa yang
dikeringkan itu kemudian dijadikan tanah persawahan yang Adi (Linuwih)
dan Karta (Subur) atau daerah yang sangat subur. Oleh karena itu, maka
Sri Paduka Paku Alam V lalu berkenan menggantikan nama Karang Kemuning
menjadi Adikarta pada tahun 1877 yang beribukota di Bendungan. Kemudian
pada tahun 1903 bukotanya dipindahkan ke Wates. Kabupaten Adikarta
terdiri dua kawedanan (distrik) yaitu kawedanan Sogan dan kawedanan
Galur. Kawedanan Sogan meliputi kapanewon (onder distrik) Wates dan
Temon, sedangkan Kawedanan Galur meliputi kapanewon Brosot dan Panjatan.
Bupati di Kabupaten Adikarta sampai dengan tahun 1951 berturut-turut sebagai berikut:
Tumenggung Sosrodigdoyo
R. Rio Wasadirdjo
RT. Surotani
RMT. Djayengirawan
RMT. Notosubroto
KRMT. Suryaningrat
Mr. KRT. Brotodiningrat
KRT. Suryaningrat (Sungkono)
PENGGABUNGAN KABUPATEN KULON PROGO DENGAN KABUPATEN ADIKARTA
Pada 5 September 1945 Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam
VIII mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah beliau yaitu
Kasultanan dan Pakualaman adalah daerah yang bersifat kerajaan dan
daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia. Pada tahun 1951, Sri
Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII memikirkan perlunya
penggabungan antara wilayah Kasultanan yaitu Kabupaten Kulon Progo
dengan wilayah Pakualaman yaitu Kabupaten Adikarto. Atas dasar
kesepakatan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII,
maka oleh pemerintah pusat dikeluarkan UU No. 18 tahun 1951 yang
ditetapkan tanggal 12 Oktober 1951 dan diundangkan tanggal 15 Oktober
1951. Undang-undang ini mengatur tentang perubahan UU No. 15 tahun 1950
untuk penggabungan Daerah Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Adikarto
dalam lingkungan DIY menjadi satu kabupaten dengan nama Kulon Progo yang
selanjutnya berhak mengatur dan mengurus rumah-tanganya sendiri.
Undang-undang tersebut mulai berlaku mulai tanggal 15 Oktober 1951.
Secara yuridis formal Hari Jadi Kabupaten Kulon Progo adalah 15 Oktober
1951, yaitu saat diundangkannya UU No. 18 tahun 1951 oleh Menteri
Kehakiman Republik Indonesia.
Selanjutnya pada tanggal 29 Desember 1951 proses administrasi
penggabungan telah selesai dan pada tanggal 1 Januari 1952, administrasi
pemerintahan baru, mulai dilaksanakan dengan pusat pemerintahan di
Wates.
Nama-nama yang menjabat Bupati Kulonprogo sejak tahun 1951 sampai sekarang adalah sbb:
KRT.Suryoningrat (1951-1959)
R.Prodjo Suparno (1959-1962)
KRT.Kertodiningrat(1963-1969)
R.Soetedjo (1969-1975)
R.Soeparno (1975-1980)
KRT.Wijoyo Hadiningrat (1981-1991)
Drs.H.Suratidjo (1991-2001)
H.Toyo Santoso Dipo(2001-2011)
dr.H.Hasto Wardoyo,Sp.OG(K) (2011-sekarang)
Raden Mas Sodewo/Ki Sodewo, Pahlawan Mataram yang terlupakan.
Dalam dinasti Mataram, dikenal beberapa tokoh sebagai Pahlawan Nasional,
antara lain Sultan Agung, Pangeran Diponegoro dan Pangeran Sambernyowo.
Dari sekian banyak raja, ratu, pangeran dan tokoh-tokoh Mataram mungkin
sebetulnya terdapat banyak cerita kepahlawanan yang belum terungkap.
Penyebab utamanya bisa karena dokumen sejarah pendukung yang kurang.
Sebagian besar kisah kepahlawanan hanya beredar dari mulut ke mulut.
Lain halnya tokoh yang rajin menulis seperti Raden Mas Said (Pangeran
Sambernyowo) misalnya yang mendokumentasikan sendiri perjuangannya
melalui tulisan-tulisannya. Oleh karenanya ajaran Pangeran Sambernyowo
mengenai Tri Dharma ( handarbeni, hangrungkepi, mulat sarira
hangrosowani) menjadi populer. Cukup sulit membedakan mana yang
merupakan fakta sejarah obyektif dan mana yang subyektif atau bahkan
sekedar dongeng.
Belum banyak masyarakat yang tahu kisah kepahlawanan Ki Sodewo, Putra
kandung Pangeran Diponegoro yang berjuang di wilayah Bagelen dan
Kulonprogo pada masa Perang Diponegoro atau yang dikenal Belanda sebagai
Perang Jawa. Hanya sedikit penduduk di sekitar kota Wates yang tahu
lokasi makam tubuh Ki Sodewo. Bahkan makam ini tidak terletak di Taman
Makam Pahlawan Giripeni yang berjarak hanya beberapa ratus meter dari
pemakaman umum Sideman, tempat dimana Ki Sodewo dimakamkan.
Sungguh ironis bagi Ki Sodewo yang asli 1000% seorang pahlawan. Dan
mungkin tinggal tersisa sangat sedikit orang yang tahu bahwa di daerah
Jrangking, dekat pemandian Clereng Kulon Progo ada daerah bernama Gunung
Songgo yang merupakan petilasan tempat disangganya kepala Ki Sodewo
dengan bambu. Belanda sengaja memisahkan kepala dari makam tubuhnya
karena menurut cerita apabila kepala dan tubuh Ki Sodewo masih menyatu
Belanda khawatir Ki Sodewo bisa hidup kembali karena kesaktiannya yang
luar biasa. Ki Sodewo terlahir di wilayah Madiun pada tahun 1810,
bernama Bagus Singlon. Putera Pangeran Diponegoro dengan R. Ayu
Citrowati (dari Madiun) ini pada masa kecilnya dititipkan pada seorang
kyai bernama Ki Tembi di Madiun. Hal ini untuk menghindari penangkapan
yang dilakukan Belanda terhadap anak turun Pangeran Diponegoro.
Ketika berumur 15 tahun pada tahun 1825 setelah mulai mengenal asal usul
dan jati dirinya, Bagus Singlon mencari ayahnya. Bersama dengan Ki
Tembi, Bagus Singlon menuju Tegal Rejo, Goa Selarong dan route
perjuangan Diponegoro lainnya. Sambil menunggu saat perjumpaan dengan
ayahandanya, Bagus Singlon tinggal bersama Kyai Gothak di daerah
Panjatan Kulon Progo. Bagus Singlon rajin menempa ilmu kanuragan dari
Kyai Gothak maupun para guru lain. Bahkan Bagus Singlon belajar ilmu
Pancasona sampai ke daerah Bagelen. Dengan bantuan telik sandi, Bagus
Singlon akhirnya berjumpa dengan ayahandanya Pangeran Diponegoro.
Oleh ayahandanya Bagus Singlon diberi julukan Ki Sodewo karena kesaktian
dan kehebatannya dalam bertempur. Nama itu berasal dari kata Laksono
Dewo (bagaikan dewa), dewa yang maha sakti dalam berperang. Ki Sodewo
lalu membantu pertempuran bersama para pengikut Diponegoro. Salah satu
bukti kedidayaan Ki Sodewo adalah kemampuannya membunuh Jendral Van De
Cohlir, salah satu jendral andalan Jendral Van De Kock, panglima perang
Hindia Belanda.
Ki Sodewo membangun persaudaraan dengan tokoh-tokoh seperti Kyai Gothak
dan Kyai Josuto untuk mendapatkan bala tentara. Sebuah benteng
pertahanan dibangun di wilayah dusun Bosol. Benteng tersebut terbuat
dari pohon bambu ori yang ditanam di sepanjang sungai serang di wilayah
dusun Bosol. Wilayah tersebut lalu terkenal dengan Jeron Dabag (dalam
dabag atau benteng).
Bersama pengikutnya yang disebut Laskar Sodewo beliau melakukan
perlawanan secara gerilya melawan Belanda. Rute gerilya yang pernah
dilewati Ki Sodewo antara lain Panjatan, Milir, Beji, Sentolo, Pengasih,
Brosot, Lendah, Nanggulan, Kalibawang, Bagelen dan Wates. Bagi rakyat
Kulon progo pada masa itu Ki Sodewo adalah pahlawan, namun Belanda
melakukan propaganda bahwa Ki Sodewo adalah pemimpin gerombolan
perampok.
Salah satunya tercatat dalam sejarah kabupaten Purworejo bahwa Ki Sodewo
adalah sekutu penjahat bernama Amat Sleman pada tahun 1838 yang
merupakan musuh dari Bupati Cakranegoro yang pro Belanda.
Darah Biru
Darah yang mengalir dalam diri Bagus Singlon memang penuh dengan kisah
yang mewarnai babad para raja di tanah Jawa mulai abad 12 dari masa
kerajaan Singasari sampai dengan ayahandanya Diponegoro.
Menurut sejarah, Mahisa Wongateleng, salah satu anak dari Ken Dedes dan
Ken Arok-lah yang menurunkan raja-raja penerus Singasari, Raja-raja
Majapahit, Raja-raja Demak sampai Raja-Raja Mataram. Dari Raden Wijaya ,
Tribuwana Tunggadewi, Brawijaya, Ki Ageng Selo, Ki Ageng Pemanahan,
Panembahan Senopati, Hamengku Buwono I, Hamengku Buwono II,
Hamengkubuwono III adalah para simbah dan leluhur Ki Sodewo.
Mungkin sangat sedikit literature tentang Ibu Bagus Singlon, R. Ay.
Citrowati yang menurunkan Bagus Singlon sebagai hasil pernikahan dengan
Pangeran Diponegoro. Hanya sedikit diceritakan bahwa Ibu Bagus Singlon,
turut dibunuh Belanda pada masa perjuangan. Sehingga Bagus Singlon
dititipkan kepada Ki Tembi di Madiun. Kematian Ibunya dan semangat para
simbah dan leluhur Bagus Singlonlah mungkin yang membakar jiwa
kepahlawanan Bagus Singlon dalam membantu Pangeran Diponegoro
mempertahankan martabat keluarga dan bangsanya.
Makam Seorang Pahlawan ?
Seperti diceritakan turun-temurun keluarga trah Ki Sodewo maupun buku
dongeng rakyat Kulon Progo, kesaktian ilmu ‘pancasona bumi’ Ki Sodewo
mampu membuatnya hidup kembali meskipun terbunuh selama raganya masih
menyentuh bumi. Perjuangan Ki Sodewo berakhir ketika dikhianati, yaitu
ketika rahasia kesaktiannya dibocorkan oleh adik seperguruan di Bagelen.
Karena khawatir akan kesaktian Ki Sodewo, Belanda kemudian memenggal
kepala Ki Sodewo dan kemudian tubuh dan kepalanya dimakamkan secara
terpisah.
Makam tubuh Ki Sodewo berada di kota Wates. Namun pada saat Kota Wates
dibangun, makam tersebut sempat dipindahkan. Pada saat hendak
dipindahkan terdapat kendala ketika tidak seorangpun mampu memindahkan
makam tersebut. Sehingga dicarilah keturunan Ki Sodewo untuk dimintai
tolong memindahkan makam. Akhirnya salah satu keturunan Ki Sodewo yang
bernama Resosemito mampu memindahkannya ke makam Sideman.
Adapun petilasan makam kepala Ki Sodewo saat ini sungguh memprihatinkan.
Menurut cerita turun temurun pada zaman Belanda kepala Ki Sodewo tidak
dikebumikan namun disangga dengan bambu-bambu di atas perbukitan, yang
kemudian dinamakan Gunung Songgo. Saat ini terdapat 2 versi cerita
mengenai makam kepala Ki Sodewo.
Versi pertama menyebutkan setelah dirasa aman kemudian Belanda memindahkan makam kepala tersebut menyatu dengan tubuhnya.
Versi lainnya menyebutkan kepala telah dimakamkan di lokasi Gunung
Songgo tersebut dengan hanya ditandai dengan beberapa buah batu bata.
Sungguh memprihatinkan untuk ukuran seorang Putra Diponegoro yang ikut
berjuang menjaga martabat Mataram.
Wisata Sejarah Kulon Progo
Makam Nyi Ageng Serang
Makam ini terletak di desa Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang. Jarak
sekitar 32 km dari Yogyakarta. Kompleks makam Nyi Ageng Serang memiliki
nilai sejarah yang tinggi untuk mengenang perjuangan beliau dalam
melawan penjajahan.
Pemandian Clereng
Berada di Desa Sendangsari, Kecamatan Pengasih. Pemandian ini merupakan
salah satu obyek wisata tirta dengan keberadaan kolam alami bersumber
mata air Clereng dan didukung fasilitas kolam renang. Lingkungan sekitar
Pemandian Clereng merupakan perbukitan yang dibawahnya mengalir mata
air jernih yang juga dimanfaatkan untuk air minum dan irigasi pertanian.
Pemandian Clereng terdiri dari kolam mata air alami serta dua buah
kolam renang buatan manusia dengan kedalaman 0,5 - 2 meter. Oleh
masyarakat sekitar, mata air pemandian Clereng kemudian dipercaya dapat
membuat awet muda, serta dapat mendatangkan keselamatan dan ketentraman
bagi siapa saja yang membasuh muka atau mandi di tempat ini.
Makam Girigondo
Terletak di Dusun Girigondo, Kaligintung, Temon, Kulon Progo. merupakan
makam keluarga Paku Alam. Di sini telah dimakamkan Almarhum Paku Alam ke
V, VI, dan VII beserta keluarganya. Makam ini terletak di atas bukit,
seperti halnya makam raja-raja Mataram dan keturunannya yang ada di
Imogiri.
Tembok Pagar Pengasih
Berada di Kantor Kecamatan Pengasih, tepatnya di Jalan Purbo Winoto 06
Pengasih Kulonprogo. Tembok kecamatan ini memiliki kaitan erat dengan
kabupaten Kulonprogo. Tembok pagar tesebut memiliki ketebalan 40 cm.
Pada bagian tengah pintu masuk kantor kecamatan terdapat bangunan gapura
berbentuk Semar Tinandu. Ketinggian tembok pagar sebelah barat gapura
sekitar 150 cm dan sebelah timur gapura sekitar 200 cm.
Secuil Sejarah Waduk Sermo
Tujuan pembangunan Waduk Sermo ialah untuk memberikan suplai air untuk
sistem irigasi di daerah Kalibawang yang memiliki luasan daerah mencapai
7.152 Hektar. Waduk Sermo dibuat dengan membendung sungai Ngrancah dan
dapat menampung air hingga 25 juta meter kubik. Waduk Sermo memiliki
luas hingga 157 hektar, bahkan jika dikelilingi menggunakan motor maka
jarak tempuhnya bisa mencapai 15 km.
Pembangunan Waduk Sermo dilakukan selama dua tahun delapan bulan,
tercatat dari bulan Maret 1994 hingga bulan Oktober 1996 dan
menghabiskan dana hingga 22 milyar rupiah. Di tahun tersebut, wilayah
ini bukan tanpa penduduk, tercatat Pemerintah Daerah Kulonprogo harus
melakukan “bedol desa” yaitu melakukan transmigrasi besar-besaran untuk
memindahkan 107 kepala keluarga, tentu bukan hanya kepalanya yang
dipindahkan tetapi seluruh tubuh anggota keluarganya juga dipindahkan ke
Propinsi Bengkulu dan Propinsi Riau. Waduk Sermo baru diresmikan pada
tanggal 20 November 1966 oleh Presiden Soeharto.
SEPENGGAL SEJARAH KEKALAHAN KUMPENI BELANDA
DI NANGGULAN, KULON PROGO
Makam Kapten Hermanus Van Ingen terletak di Dusun Jatingarang Kidul
(Kauman), Jatisarono, Nanggulan, Kulon Progo, Propinsi DIY. Jika dari
arah Yogyakarta, lokasi ini dapat dicapai melalui Jl. Diponegoro (barat
Tugu) ke arah barat-lurus hingga melewati Pasar Godean-ke barat
menyeberang Sungai Progo. Sesudah sampai di perempatan Nanggulan ambil
jalan ke arah kiri (selatan). Pada jarak sekitar 400 meter dari
perempatan ini akan ditemukan kompleks makam di Dusun Jatingarang Kidul
pada sisi barat jalan. Pada kompleks makam inilah akan kita temukan
nisan dari Kapten Hermanus Van Ingen.
Data Fisik
Makam atau nisan Hermanus van Ingen berada di kompleks makam umum/
kampung Jatingarang kidul. Di kompleks makam ini kecuali nisan Kapten
Hermanus van Ingen juga terdapat nisan-nisan lain di sisi kanan kirinya
yang menurut sumber setempat merupakan nisan dari kuda-kuda kesayangan
Kapten Hermanus van Ingen.
Makam ini memiliki prasasti berbahasa Belanda yang ditakikkan di atas
permukaan lempengan batu andesit. Sayangnya, tulisan dalam prasasti
tersebut sekarang sudah sangat sulit dibaca secara utuh. Akan tetapi ada
selarik tulisan yang masih cukup jelas berbunyi Hier Onder Rust ‘di
sini beristirahat’ Onkh Hermanus Olkert Van Ingen.
Nisan Van Ingen ini berbentuk persegi dalam bangunan menyerupai balok
tembok dengan ukuran panjang 166 Cm, tinggi 100 Cm, dan lebar 142 Cm.
Sedangkan kenampakan prasasti Van Ingen berukuran panjang 62 Cm, lebar
40 Cm. Sedang ketebalan prasasti ini tidak bisa diketahui karena
prasasti tersebut tertanam di dalam tembok.
Latar Belakang
Perang Jawa/Perang Diponegoro/de Java Oorlog pecah tanggal 20 Juli 1825.
Perang ini berlangsung selama 5 tahun dan sempat membuat pemerintah
Negeri Belanda diliputi kecemasan yang luar biasa. Keuangan Belanda bisa
dikatakan hampir bangkrut, tenaga militer kurang, dan banyak jatuh
korban.
Siasat gerilya yang diterapkan Pangeran Diponegoro dengan pasukannya
waktu itu hampir tidak bisa ditandingi. Belanda dibuat pontang-panting
oleh pergerakan pasukan lawan yang sangat mobil dan militansi yang
sangat kuat. Untuk memotong dan membendung jalur-jalur mobilitas itu
Belanda menerapkan strategi perang yang terkenal dengan nama benteng
stelsel. Benteng stelsel ini sangat efektif untuk untuk menguasai dan
mengontrol daerah-daerah di sekitar benteng; mencegah mobilitas dan
perhubungan pasukan rakyat pimpinan Pangeran Diponegoro; memadamkan
benih perlawanan rakyat di sekitar benteng; mengurung pergerakan pasukan
Pangeran Diponegoro.
Seperti biasa, Belanda mengetrapkan politik licik dan rendahnya yakni,
devide et impera-nya. Banyak keluarga raja-raja Jawa baik dari
Kasultanan, Kasunanan, Paku Alaman, dan Mangkunegaran yang dibujuk rayu
dan direkrut untuk membantu Belanda dengan banyak iming-iming. Mulai
dari kedudukan, gelar, hadiah material (kain, emas, minuman keras), dan
uang. Akibatnya mereka pun saling bunuh dengan pasukan Pangeran
Diponegoro.
Strategi benteng stelsel ini mengakibatkan benteng-benteng atau pos
pertahanan Belanda dibangun di banyak tempat. Tidak kurang dari 200-an
benteng yang dibangun Belanda di Jawa, khususnya Jawa
Tengah-Yogyakarta-Surakarta sehingga seolah-olah Belanda menaburkan
benteng di tanah Jawa. Benteng-benteng itu di antaranya dibuat di
Bantul, Brosot, Puluwatu, Kejiwan, Telagapinian, Delanggu, Pasar Gede,
Kemulaka, Trayem, Jatianom, Delanggu, Pijenan, Tegalwaru, Beliga, tepian
Sungai Bedog, Kanigoro, Mangir, Grogol, Brosot, Danalaya, Grobyak, dan
sebagainya.
Salah satu benteng Belanda dibuat pula di Nanggulan, Kulon Progo. Hanya
saja benteng Belanda di Nanggulan ini tidak aman dari serbuan pengikut
Pangeran Diponegoro. Pada tanggal 20 Desember 1828 benteng di Nanggulan
ini diserbu pasukan Pangeran Diponegoro yang dikepalai oleh Alibasyah
Sentot Prawirodirdjo. Penyerbuan itu diulanginya lagi pada tanggal 28
Desember 1828. Penyerangan yang kedua ini mengakibatkan pertempuran
sengit. Berpuluh-puluh orang tewas di pihak Belanda bersama sekutunya
maupun di pihak pasukan penyerang. Bahkan salah seorang perwira Belanda
yang bernama Kapten Hermanus Van Ingen tewas dalam peperangan ini.
Pangeran Prangwadana yang membantu Belanda waktu itu juga tewas di
tempat itu.
Nama Nanggulan diduga berasal dari kata nanggul atau nanggulangi yang
berarti membentengi/menghalangi. Semula diduga ada benteng pertahanan
buatan pasukan Pangeran Diponegoro. Kemudian dihancurkan oleh Belanda.
Pada gilirannya benteng itu diserbu pasukan Pangeran Diponegoro di bawah
Sentot Prawirodirdjo. Berdasarkan hal itulah kemudian muncul nama
Nanggulan seperti yang kita kenal sekarang ini.
Menyingkap Misteri Gunung Lanang
Selama ini, Gunung Lanang populer sebagai tempat berburu wahyu. Setiap
bulan Suro ritual berskala besar digelar disertai pagelaran wayang.
Tetapi, ada misteri lain terkait asal mula gunung ini, yang nyaris
tertutup oleh berbagai mitos lain. Gunung Lanang terletak di kawasan
Pantai Congot, Kulonprogo. Gunung ini terkenal sebagai tempatnya para
pelaku tirakat yang memburu pangkat dan derajat. Bahkan, wahyu keprabon.
Tetapi, realitas Gunung Lanang ini membuat orang bertanda tanya.
Pasalnya, berbagai bangunan yang ada di komplek petilasan Gunung Lanang
ini diberi nama-nama berbau Hindu. Misalnya, Astana Jingga, Badraloka
Mandira, Candi Wisuda Panitisan dan Tirta Kencana. Kecuali itu, di
komplek Tirta Kencana juga didapati sebuah prasasti Ajisaka, terbuat
dari semen berbentuk mirip sebuah pohon dengan dahan dan batangnya penuh
aksara Jawa.
Nama-nama berbau Hindu yang disematkan pada sejumlah bagian komplek
Gunung Lanang, memiliki arti yang sungguh menggugah daya tarik mistis
seseorang. Astana Jingga artinya sebuah tempat yang memancarkan sinar
kuning kemerahan. Badraloka Mandira berarti sebuah bangunan dari batu
bata yang memancarkan sinar keagungan. Sedangkan kata ‘Lanang’ diartikan
sebagai lelaki, yang merujuk pada keyakinan bahwa Gunung Lanang
tersebut merupakan petilasan seorang bangsawan dari Mataram Kuno.
Gunung LanangMelihat nama-nama bercirikan Hindu dan maknanya, serta
keyakinan sejumlah orang yang mengatakan Gunung Lanang sebagai petilasan
bangsawan Mataram Kuno, tentu akan terhenyak jika kemudian melihat
langsung petilasan ini. Sebab, segala nama dan ciri-ciri Mataram Kuno
sebagaimana diyakini itu sungguh terasa bagai mitos yang dipaksakan.
Sebab, tak ada satu pun ciri peninggalan zaman Mataram Kuno yang bisa
didapatkan di tempat ini. Mengapa nama-nama itu disematkan, dikenal luas
dan bagaimana sesungguhnya riwayat Gunung Lanang?
Nuansa Hindu
Gunung Lanang sebenarnya hanya sebuah bukit kecil di kawasan dusun
Bayeman, Sindutan, Temon Kulonprogo, Jogjakarta. Pada puncaknya,
didapati sebuah bangunan mirip monumen yang diberi nama Sasana Sukma.
Puncak ini merupakan tempat dilakukannya berbagai ritual. Sebelum masuk
ke puncak itu, di bawahnya terdapat bangunan terbuka yang terdiri dari
empat trap. Tempat ini disebut Candi Wisuda Panitisan.
Di sebelah barat Gunung Lanang, terdapat komplek bangunan Purna Graha
atau Graha Kencana dan Tirta Kencana. Purna Graha merupakan tempat
ritual khusus yang keberadaannya selalu terkunci untuk melindungi
benda-benda yang dianggap berharga seperti pusaka. Tirta Kencana
merupakan tempat air suci yang terbagi dalam dua bilik. Kedua bilik
diberi genthong besar sebagai tempat menampung air suci. Dua bilik itu
diberi nama Nawangwulan dan Nawangsih. Dua nama bidadari zaman Joko
Tarub ini semakin membuyarkan kesan mistis zaman Mataram Kuno. Misteri
apa yang sebenarnya tersembunyi di balik semua ciri fisik Gunung Lanang
ini?
Gunung Lanang ini sudah dikenal sejak zaman Jepang. Di kala itu, Gunung
Lanang adalah sebuah pasar yang ramai pada malam Selasa dan Jumat
Kliwon. Bersamaan dengan itu, Gunung Lanang juga sudah dikenal keramat.
Tak bisa dijelaskan bagaimana kemudian nama-nama Hindu itu disematkan di
berbagai bagian komplek Gunung Lanang. Juru kunci hanya menerima saja
setiap bentuk sumbangan dari pelaku tirakat, yang hendak membangun
kawasan Gunung Lanang berdasarkan wangsit.
Juru kunci Gunung Lanang, menurut Prawiro, sudah berganti selama empat
generasi. Prawiro sendiri sudah 15 tahun menjadi juru kunci di gunung
itu. Menurutnya, juru kunci diwariskan secara turun-temurun. Tak seorang
pun kuat menjadi juru kunci jika bukan dari garis keturunan juru kunci.
Masyarakat setempat meyakini, Gunung Lanang adalah pengayomnya. Apa
yang terungkap dari penuturan jujur Prawiro Suwito tentang riwayat
Gunung Lanang ini, ternyata semakin membuat ciri-ciri Hindu sebagaimana
tampak pada nama-nama bagian komplek gunung tersebut menjadi samar.
Pasalnya, Prawiro justru mengemukakan fakta tutur yang sungguh lain dari
mitos Gunung Lanang yang selama ini dikenal sebagai petilasan bertapa
bangsawan Mataram Kuno.
Petilasan Adipati Anom
Gunung Lanang Sedikit saja yang bisa digali dari penuturan juru kunci
Gunung Lanang. Tetapi, sepenggal riwayat menampakkan titik terang
terkait kebenaran asal-mula Gunung Lanang. Gunung Lanang sebenarnya
adalah petilasan Adipati Anom, putra Sunan Mangku Rat I. Adipati Anom
yang bersekutu dengan Belanda, disebutkan oleh Prawiro singgah di Gunung
Lanang, setelah berhasil lolos dari kejaran para musuh di Cilacap.
Keterangan ini mengungkap sejarah Mataram Hadiningrat, pasca Geger
Trunojoyo di tahun 1675-1677 Masehi. Seperti diketahui, Mataram
Hadiningrat di Pleret memang pernah runtuh oleh pemberontakan besar yang
dipimpin oleh putra Adipati Cakraningrat di Madura, Trunojoyo.
Runtuhnya Keraton Mataram di Pleret itu memaksa Sunan Mangku Rat I
melarikan diri ke arah barat, bersama putra pangerannya. Sunan Mangku
Rat I kemudian dalam Babad Ing Sengkala disebutkan wafat pada 10
Februari 1677 Masehi di Wanayasa, Banyumas. Sunan Mangku Rat I
dimakamkan di Tegal Arum, sehingga kemudian dikenal pula dengan julukan
Sunan Tegal Arum.
Sebelum meninggal, Sunan Mangku Rat I telah menunjuk putranya, Adipati
Anom, untuk menggantikannya sebagai raja dengan dukungan pihak Belanda.
Dengan demikian, Adipati Anom segera kembali ke Jogjakarta, guna merebut
kembali Keraton Mataram di Pleret yang saat itu sudah dikuasai oleh
Adipati Trunojoyo. Menjadi logis jika pada saat perjalanan kembali dari
Banyumas/Cilacap itu, Adipati Anom singgah di Gunung Lanang bersama
seorang putri yang tidak diketahui namanya.
Prawiro mengatakan, selama beberapa hari lamanya, Adipati Anom menetap
di puncak Gunung Lanang. Sedangkan putri yang dibawanya dari Cilacap itu
tinggal di sebelah barat Gunung Lanang, yang kini menjadi komplek Tirta
Kencana. Prawiro mengatakan, Tirta Kencana itu dulu hanya sebuah
Sendang bernama Sinongko.
Hubungan dengan Mataram
Riwayat Gunung Lanang versi juru kunci tersebut, pada kemudian hari
dikuatkan oleh kedatangan sejumlah kerabat Keraton Mataram di Jogjakarta
yang bertirakat di gunung itu. Bahkan, Prawiro mengatakan, Sultan HB IX
mendapatkan wahyu keprabon di Gunung Lanang. Banyak lagi menurut
Prawiro, kerabat Keraton Mataram yang datang ke Gunung Lanang dengan
menyamar. Hubungan antara Keraton Jogjakarta dengan Gunung Lanang ini
juga dikuatkan lagi dengan adanya pemberian tombak pusaka dari Keraton
Jogjakarta. Sayang, menurut Prawiro, tombak pusaka itu telah hilang
dicuri orang dan hanya tinggal gagangnya saja.
Prawiro juga mengatakan, ketika Sultan HB IX jumeneng praja, kakek
buyutnya yang menjadi juru kunci diberi nama keraton, Harjowiyono. “Nama
asli buyut saya itu Singojoyo. Dari mbah buyut saya itulah diceritakan
riwayat Adipati Anom yang setelah bertahta bergelar Sunan Mangku Rat
II”, ujar Prawiro.
Pada perkembangan selanjutnya, di sebelah selatan komplek Sendang
Sinongko atau Tirta Kencana, terdapat bangunan tinggi yang disebut
Gapura atau Astana Silongok. Bangunan ini menurut Prawiro digunakan oleh
kerabat Keraton yang ingin menatap keluasan Laut Kidul. Diduga,
bangunan ini dibuat di masa Sultan HB IX, sebagai sarana kontak batin
dengan Ratu Kidul.
Adanya kesaksian mistis tentang didapatkannya wahyu keprabon Sultan HB
IX di Gunung Lanang, pada masa berikutnya menarik sejumlah tokoh penting
di negara ini. Prawiro mengatakan, seseorang yang mengaku utusan Pak
Harto, pengusa ORBA, pernah datang bertirakat selama beberapa hari di
Gunung Lanang. Prawiro juga menyebut pernah datangnya seseorang yang
mengaku sebagai utusan Megawati.
Kini, Gunung Lanang tetap dilestarikan. Ritual besar diselenggarakan
setiap malam 1 Suro. Dari para pelaku tirakat, diketahui godaan di
Gunung Lanang ini cukup berat. Antara lain cobaan dari siluman Ular
putih, Macan putih, Perkutut putih dan sejenisnya. Ada pun sang
mbaurekso Gunung Lanang menurut Prawiro adalah Eyang Sidik Permana. Para
pelaku tirakat yang berhasil ujubnya akan ditemui oleh Eyang Sidik
Permana yang menurut Prawiro berjenggot panjang nyaris menyentuh tanah.
Mengenakan udheng dan busana serba hitam. “Dari kesaksian lain, Sunan
Kalijaga juga bisa muncul jika ujubnya terkabul”, pungkas Prawiro.
Puncak Suroloyo, Meneropong Borobudur dari Pertapaan Sultan Agung
Matahari muncul dalam warna kemerahan kurang lebih pada pukul 5.00 WIB,
menyembul di antara ranting pohon yang berwarna hijau. Sinarnya membuat
langit terbagi dalam tiga warna utama, biru, jingga dan kuning. Serentak
saat warna langit mulai terbagi, sekelompok burung berwarna hitam mulai
meramaikan angkasa dan membuat suara serangga tanah yang semula kencang
perlahan melirih.
Empat gunung besar di Pulau Jawa, yaitu Merapi, Merbabu, Sumbing dan
Sindoro menyembul di antara kabut putih. Ketebalan kabut putih itu
tampak seperti ombak yang menenggelamkan daratan hingga yang tersisa
hanya sawah yang membentuk susunan tapak siring dan pepohonan yang
terletak di dataran yang lebih tinggi. Dari balik kabut putih itu pula,
stupa puncak Candi Borobudur yang tampak berwarna hitam muncul di
permukaan lautan kabut.
Itulah pemandangan yang bisa dilihat saat fajar ketika berdiri di Puncak
Suroloyo, buykit tertinggi di Pegunungan Menoreh yang berada pada 1.091
meter di atas permukaan laut. Untuk menikmatinya, anda harus melewati
jalan berkelok tajam serta menakhlukkan tanjakan yang cukup curam, dan
memulai perjalanan setidaknya pada pukul 2 dini hari. Dua jalur bisa
dipilih, pertama rute Jalan Godean - Sentolo - Kalibawang dan kedua rute
Jalan Magelang - Pasar Muntilan - Kalibawang. Rute pertama lebih baik
dipilih karena akan membawa anda lebih cepat sampai. Tentu anda mesti
berada dalam kondisi fisik prima, demikian juga kendaraan yang mesti
berisi bahan bakar penuh serta bila perlu membawa ban cadangan.
Setelah berjalan kurang lebih 40 km, anda akan menemui papan penunjuk ke
arah Sendang Sono. Anda bisa berbelok ke kiri untuk menuju Puncak
Suroloyo, namun disarankan anda berjalan terus dahulu sejauh 500 meter
hingga menemui pertigaan kecil dan berbelok ke kiri karena jalannya
lebih halus. Dari situ, anda masih harus menanjak lagi sejauh 15 km
untuk menuju Puncak Suroloyo. Sebuah perjalanan yang melelahkan memang,
namun terbayar dengan keindahan pemandangan yang dapat dilihat.
Pertanda anda telah sampai di bukit Suroloyo adalah terlihatnya tiga
buah gardu pandang yang juga dikenal dengan istilah pertapaan, yang
masing-masing bernama Suroloyo, Sariloyo dan Kaendran. Suroloyo adalah
pertapaan yang pertama kali dijumpai, bisa dijangkau dengan berjalan
kaki menaiki 286 anak tangga dengan kemiringan 300 - 600. Dari puncak,
anda bisa melihat Candi Borobudur dengan lebih jelas, Gunung Merapi dan
Merbabu, serta pemandangan kota Magelang bila kabut tak menutupi.
Pertapaan Suroloyo merupakan yang paling legendaris. Menurut cerita, di
pertapaan inilah Raden Mas Rangsang yang kemudian bergelar Sultan Agung
Hanyokrokusumo bertapa untuk menjalankan wangsit yang datang padanya.
Dalam kitab Cabolek karya Ngabehi Yosodipuro yang ditulis pada abad 18,
Sultan Agung mendapat dua wangsit, pertama bahwa ia akan menjadi
penguasa tanah Jawa sehingga mendorongnya berjalan ke arah barat
Kotagede hingga sampai di Pegunungan Menoreh, keduia bahwa ia harus
melakuykan tapa kesatrian agar bisa menjadi penguasa.
Menuju pertapaan lain, anda akan melihat pemandangan yang berbeda pula.
Di puncak Sariloyo yang terletak 200 meter barat pertapaan Suroloyo,
anda akan melihat Gunung Sumbing dan Sindoro dengan lebih jelas. Sebelum
mencapai pertapaan itu, anda bisa melihat tugu pembatas propinsi DIY
dengan Jawa Tengah yang berdiri di tanah datar Tegal Kepanasan. Dari
pertapaan Sariloyo, bila berjalan 250 meter dan naik ke pertapaan
Kaendran, anda akan dapat melihat pemandangan kota Kulon Progo dan
keindahan pantai Glagah.
Usai melihat pemandangan di ketiga pertapaan, anda bisa berkeliling
wilayah Puncak Suroloyo dan melihat aktivitas penduduk di pagi hari.
Biasanya, mulai sekitar pukul 5 pagi penduduk sudah berangkat ke sawah
sambil menghisap rokok linting. Bila anda berjalan di dekat para
penduduk itu, aroma sedap kemenyan akan menyapa indra penciuman sebab
kebanyakan pria yang merokok mencampur tembakau linting dengan kemenyan
untuk menyedapkan aroma.
Selain memiliki pemandangan yang mengagumkan, Puncak Suroloyo juga
menyimpan mitos. Puncak ini diyakini sebagai kiblat pancering bumi
(pusat dari empat penjuru) di tanah Jawa. Masyarakat setempat percaya
bahwa puncak ini adalah pertemuan dua garis yang ditarik dari utara ke
selatan dan dari arah barat ke timur Pulau Jawa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar